09 Desember 2008

SEJARAH BENGKAYANG



Oleh: Munawar M. Saad
@2009

Asal Usul dan Arti Nama Bengkayang

Bagi masyarakat Kalimantan Barat, Bengkayang merupakan kata yang sering didengar bahkan sering diucapkan, karena Bengkayang telah ada sejak zaman Kesultanan Sambas dan zaman Pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu, Bengkayang merupakan salah satu Kabupaten di propinsi Kalimantan Barat ini, yang dibentuk pada tahun 1999. Akan tetapi sampai saat ini belum jelas asal usul dan arti nama Bengkayang. Mengapa daerah ini dinamakan Bengkayang? Oleh karena itu sub-bab ini menjadi sangat penting untuk menemukan asal kata dan arti Bengkayang. Dengan demikian, maka Bengkayang dapat dipahami secara etimologis sebagai dasar filosofi bagi pembangunan Kabupaten Bengkayang.

Asal usul dan arti nama Bengkayang masih dalam proses pencarian. Bengkayang bagi sebagian orang merupakan perkataan yang jarang didengar dan bahkan ada yang menganggapnya karena salah dengar atau salah ucap semata. Hal itu mungkin disebabkan kelangkaan literatur tentang Bengkayang yang dapat diakses oleh segenap masyarakat di negeri ini. Sampai saat ini belum ditemukan asal kata Bengkayang dari bahasa apa dan apa artinya yang sesungguhnya. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “bengkayang” berarti keras mangkas, keras perutnya (terlalu kenyang dsb). Akan tetapi, Poerwadarminta, dalam kamus tersebut memberikan tanda bahwa kata Bengkayang disangsikan (mungkin karena salah dengar, salah tulis, salah baca dan sebagainya), jarang dipakai (hanya hidup dalam bahasa lingkungan atau daerah), sudah usang atau mati, atau hanya hidup beberapa lamanya lalu tenggelam.

Dari sumber yang penulis himpun, terdapat beberapa versi dalam mengartikan istilah Bengkayang. Menurut versi sesepuh masyarakat Bengkayang bahwa kata Bengkayang berasal dari perkataan Bangkai Bujang. Ketika itu masyarakat pendatang dan suku asli (Dayak) suka berkelahi lalu bangkainya (mayat) dibuang ke sungai.

Versi lain juga menyebutkan bahwa kata Bengkayang berasal dari sebutan Begayang dari bahasa Dayak Bekati’ yang berarti berjalan, berjalan-jalan. Orang Dayak suka keluar kampung dengan cara berjalan kaki, kemudian suatu saat di tengah perjalanan bertemu dengan tentara Belanda. Tentara Belanda tersebut bertanya kepada orang kampung yang berjalan, .. kalian orang mau kemana? Lalu dijawab begayang (berjalan) tuan… Lidah orang Belanda kurang pasih mengucapkan kata Begayang, lalu diucapkannya, o… Bengkayang. Sampai akhirnya sebutan Bengkayang melekat dan akrab ditelinga masyarakat pada waktu itu hingga sekarang.

Dalam bahasa Cina Khek, Bengkayang lebih dikenal dengan sebutan Tainam atau Lala. Lala asal kata Rara, karena dialek masyarakat Tionghoa tidak bisa menyebut huruf r, lalu disebut Lala. Rara sebutan dari masyarakat Dayak Bekati adalah sebuah kampung ujung Sebalo di bawah pegunungan (Tiga Desa) lebih kurang 12 km dari kota Bengkayang. Awal mula terbentuknya kota Bengkayang berasal dari pasar Sebalo lalu pindah ke Selenci kemudian setelah Belanda (VOC) datang pindah ke Bengkayang. Pusat perdagangan sebelum Bengkayang ketika itu ada di Ledo. Orang China datang ke Bengkayang bersamaan dengan kedatangan VOC melalui Sambas lewat Ledo dan Sebalo melalui sungai ke Selence dan akhirnya menetap di Bengkayang. Orang kampung Sebalo jika akan belanja melewati sungai atau lewat lereng gunung dengan mengendarai kuda.


Berdirinya Kota Bengkayang

Kapan dan bagaimana berdirinya kota Bengkayang pada zaman dahulu kala belum diketahui secara akurat dan objektif. Oleh karena itu, sub-bab ini akan berusaha untuk mengupas secara akurat dan objektif mengenai proses berdirinya kota Bengkayang, baik dari sumber tuturan sejarah maupun catatan/laporan tertulis dari orang-orang yang berkompeten akan hal tersebut.

Menurut beberapa sumber yang dapat dipercaya keabsahan dan kevalidannya, keberadaan kota Bengkayang bermula dari kedatangan warga China pekerja tambang emas di Manterado yang sengaja diundang Sultan Sambas pada tahun 1678 M. Setelah beberapa tahun bekerja sebagai pekerja tambang emas di Manterado, sebahagian dari mereka ada yang mengembara ke Bengkayang dan sebagian pulang ke negeri asalnya daratan Tiongkok. Sementara itu, jauh sebelum warga China datang ke Bengkayang, sudah ada penduduk asli yakni suku Dayak yang bermukim di pedalaman Bengkayang. Dengan demikian diperkirakan Bengkayang berdiri tahun 1688 M.

Berdasarkan umur Kelentang tertua yang ada di Bengkayang, yaitu Kelenteng Sakjha, diperkirakan istilah kampung Bengkayang sudah dikenal masyarakat sejak tahun 1728 (kurang lebih 280 tahun silam).

Cikal bakal berdirinya Bengkayang berawal dari sungai Sebalo, Tiga Kampung dan Tainam (bahasa Cina Khek). Tainam merupakan ujung sungai Sebalo (hulu air Sebalo). Sungai Sebalo dahulu sungai besar yang muaranya dari sungai Sambas. Tiga wilayah tersebut adalah tempat bermukimnya warga Dayak dan Melayu serta Cina. Mereka memanfaatkan lereng gunung seperti gunung Sekayok dan gunung Melabo sebagai tempat tinggal dan tempat bercocok tanam. Namun pada tahun 1970 dengan alasan keamanan maka orang kampung yang bermukim di pegunungan diperintahkan turun gunung.

Awalnya Bengkayang merupakan sebuah kampung bagian dari wilayah kerajaan Sambas. Orang pertama yang merintis dan membuka jalan menuju Bengkayang adalah Jerendeng Abdurahman orang Menado. Kampung Bengkayang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari Singkawang dan Monterado. Para penambang dan pedagang yang kebanyakan berasal dari negeri China, setelah mereka menuju Monterado lalu melanjutkan pengembaraannya ke Bengkayang. Sedangkan para penambang emas di Monterado yang sudah lama sering beristirahat di Singkawang untuk melepas kepenatannya. Bengkayang juga sebagai tempat bercocoktanam seperti menanam padi, kebun karet dan dan sayur mayur. Sebab orang China yang datang ke Kalimantan Barat disamping pandai menggarap tambang emas juga ahli dalam bidang pertanian.

Pada tahun 1930 seorang guru kebangsaan Belanda mengajar Ilmu Bumi menyebut ibukota negeri Lara dan Lumar adalah Bengkayang.

PERISTIWA PATUNG NAGA DAN PERLUNYA PEMAHAMAN MULTIKULTURALISME


Oleh Munawar M. Saad

DALAM minggu ini Walikota Singkawang dan jajaran pemerintahannya dihadapkan pada persoalan penolakan pembangunan patung naga. Sebahagian masyarakat Kota Singkawang dari FPI, FPM dan Aliansi LSM Perintis pada tanggal 5 Desember 2008 turun ke jalan memprotes pembangunan patung naga di jalan Kempol Machmud-Niaga Kota Singkawang. Alasan penolakan karena pembangunan patung naga bukan untuk kepentingan umum, namun hanya untuk kepentingan etnis tertentu.Kasus penolakan pembangunan patung naga di Kota Singkawang tersebut tidak boleh kita anggap sepele dan bahkan ada kecenderungan untuk menyederhanakan persoalan. Akan tetapi patut kiranya kita cari akar persoalannya. Mengapa warga tidak setuju terhadap simbol-simbol yang bernuansa etnis. Apakah peristiwa tersebut pertanda adanya ketersinggungan sekelompok warga terhadap warga dari etnis tertentu pasca pilwako?
Dari peristiwa yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa persoalan etnis di daerah ini masih cukup rawan. Bila terjadi sedikit gejolak di masyarakat, akan patal akibatnya. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus niscaya akan dapat menggorogoti dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa, baik secara politik maupun sosial budaya.

Heterogenitas masyarakat di Kalimantan Barat memang potensial sebagai ladang konflik sebagaimana yang pernah diprediksikan sebelumnya oleh Samuel Huntington sebagai “Benturan Peradaban/The Clash of Civilizations” yaitu etnik, agama dan peradaban. Tingkat kesejahteraan penduduk yang kebanyakan masih rendah, ketimpangan struktur sosial kemasyarakatan, kesempatan kerja dan hak-hak kepemilikan juga menyebabkan pengentalan-pengentalan konflik di tengah-tengah realitas kehidupan keseharian masyarakat kita (Syarif Ibrahim Alqadrie, 1999; Bakran Suni, 2000). Begitu juga dengan tingkat pendidikannya, dapat dijadikan alasan terjadinya konflik horizontal.

Pembangunan sosial budaya selayaknya mengandung arti sebagai proses akulturasi dikarenakan nilai-nilai baru yang berkembang di masyarakat guna menuju kondisi yang lebih baik. Perbedaan-perbedaan suku, bangsa, agama, adat dan kedaerahan seharusnya tidak menjadikan suatu daerah yang majemuk jatuh ke dalam ketegangan budaya karena merupakan ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk –suatu istilah yang pertama sekali diperkenalkan oleh Furnivall (Nasikun, 1993:23).
Dalam masyarakat yang majemuk menjadi sulit dipahami norma yang berbeda-beda yang menjadi dasar kehidupan sub kelompok yang berbeda-beda itu. Interaksi sosial antar penduduk dengan kemajemukan tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah SARA dan sekaligus mendorong masing-masing pihak memperkuat identitas suku dan ikatan primordialnya.
Penulis tidak bermaksud berspekulasi dan mengandai-andai, namun semata-mata ingin berbagi pemikiran demi terwujudnya Singkawang kota yang damai, aman, sejuk dan sejahtera. Belajar dari kasus patung naga di Kota Singkawang, penulis ingin kita bersama-sama mengangkat permasalahan pentingnya memahami dan menjunjung tinggi nilai-nilai multikultural di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Mengapa tema itu diangkat, mengingat di wilayah kita ini sering terjadi pertikaian horizontal akibat menajamnya berbagai perbedaan, baik perbedaan suku, golongan, status sosial maupun perbedaan agama. Perbedaan selama ini selalu menjadi masalah (problematik), padahal yang sebenarnya perbedaan itu adalah anugerah yang seharusnya menjadi modal sosial dalam membangun masyarakat. Untuk itu penulis mencoba menuangkan beberapa pikiran seputar bagaimana menjaga semangat multikulturalisme pada masyarakat. Ada dua komitmen penting yang harus dipegang oleh masyarakat dalam menciptakan kehidupan yang rukun dan damai dalam suatu masyarakat yang beraneka ragam kultur, etnik, agama dan keyakinan, yaitu sikap pluralisme dan inklusifisme.
Pengertian pluralisme dan inklusivisme memang tidak jauh berbeda. Pengertian pluralisme adalah bahwa tiap orang/warga dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak warga/orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinnekaan. Sedangkan inklusifisme adalah sikap keterbukaan dalam bergaul sesama warga masyarakat (memahami orang lain. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut.
Indonesia dibangun atas dasar perbedaan dari berbagai sisi, seperti perbedaan suku, agama dan ras. Melalui bhinneka tunggal ika itulah terbangun kebersamaan untuk mencapai sebuah tujuan berbangsa dan bernegara dengan tetap harmonis dan bergandengan tangan. Kondisi Indonesia sejak awal pembentukannya adalah masyarakat multikultural yang unik. Namun ironisnyanya sejak lama negara (state) belum memberikan kesempatan belajar hidup bersama dalam perbedaan kepada bangsanya sehingga tidak terjadi dialog budaya yang dinamis dan terbuka (Chairil Effendi).
Menyikapi kondisi Kalimantan Barat yang masyarakatnya pluralistik secara antropologis, historis dan sosiologis sehingga perlu penanganan khusus dan penuh kehati-hatian dalam proses pembinaan warganya agar dapat hidup secara harmonis, jangan sampai muncul semangat superioritas etnis. Jika boleh dianalogikan bahwa kondisi di Kalimantan Barat yang multi etnik dan agama seperti beberapa ekor ayam jago yang kuat dan bertaji hidup dalam satu kandang (sangkar). Apabila sang empunya ayam jago tersebut tidak arif dan bijak dalam memberikan pelayanan atau perlakuan boleh jadi ayam-ayam tersebut satu saat akan berkelahi dan bertarung.
Menurut beberapa sumber yang penulis baca bahwa multikulturalisme di Kalimantan Barat saat ini mengalami problema tersendiri yang perlu diwaspadai. Problema dimaksud antara lain :
• Indeks pembangunan manusia bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi berada pada urutan bawah sehingga masyarakatnya terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.
• Nilai-nilai masyarakat Kalimantan Barat sudah tercabik-cabik sejalan dengan hancurnya habitat kebudayaan mereka,
• Struktur mental sebagian kelompok masyarakat mengalami kegoncangan akibat konflik sosial yang terjadi beberapa kali.
• Masyarakat hidup terkotak-kotak dan berusaha membangun sandaran hukum baru sehingga terjadi dualisme hukum.
Pembauran masyarakat antara berbagai etnis di suatu wilayah merupakan suatu keniscayaan dalam masyarakat majemuk (plural). Tanpa adanya proses pembauran masyarakat, konflik horizontal akan dengan mudah tersulut, walau hanya dengan sumber pemicu yang sangat sederhana. Dari berbagai kasus kerusuhan (konflik horizontal) yang pernah terjadi di wilayah Kalimantan Barat ini mengindikasikan akan pentingnya pembauran tersebut.
Dalam merajut nilai persaudaraan di masyarakat mengharuskan setiap warga masyarakatnya untuk hidup saling berdampingan, tanpa memisahkan diri dari suatu komunitas masyarakatnya dan membentuk komunitas tersendiri, meskipun dalam hidup keseharian di masyarakat selalu mengadakan hubungan/kontak sosial dengan masyarakat lainnya. Hidup berkelompok cenderung akan menyebabkan hegemoni kelompok, dan hal ini akan dengan mudah mengundang konflik.
Selain itu, “kerelaan” untuk menjunjung tinggi nilai-nilai, adat istiadat dan budaya yang berkembang di suatu masyarakat menjadi suatu keniscayaan dalam proses pembauran masyarakat. Atau dengan lain perkataan, kepandaian beradaptasi dan berasimilasi dengan masyarakat tempatan atau “pandai membawa diri” menjadi persyaratan mutlak bagi para warga masyarakat agar dapat diterima dengan baik oleh warga lain.
Kepada para tokoh agama dan masyarakat dari berbagai etnik, agar senantiasa secara intensif mengadakan pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi guna menemukan jalan penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak, dan segera mensosialisasikan hasilnya kepada komunitasnya masing-masing dengan sebenar-benarnya sehingga tidak akan menimbulkan kesalahpahaman. Pemerintah sebaiknya mencoba merentas jalan keluar dan alternatif pernyelesaian yang lain, seperti mengadakan pertemuan antar warga masyarakat dalam suatu wilayah atau daerah kecamatan, tanpa adanya upaya pendelegasian, dan pemerintah hanya sebagai mediator dan fasilitatornya. Untuk hidup berdampingan dalam masyarakat mengisyaratkan adanya keinginan dan kerelaan dari etnik tertentu agar mau merubah segala sifat, sikap, perilaku dan budaya asal dengan menyesuaikan diri dengan perilaku masyarakat sekitarnya. SALAM DAMAI.
(Penulis adalah dosen Jurusan Dakwah pada STAIN Pontianak)

SEJARAH KONFLIK ANTAR SUKU DI KABUPATEN SAMBAS


Oleh: Munawar M. Saad
@2003

Latar Belakang

Dari beberapa peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Ambon, Maluku dan Irian Jaya menunjukkan bahwa persoalan etnik di negeri kita ini masih cukup rawan, sebab bila terjadi sedikit gejolak di dalam masyarakat, akan patal akibatnya. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus niscaya akan dapat mempengaruhi keutuhan sosial dan ketahanan nasional.
Perbedaan kultur dan hubungan sosial di kalangan masyarakat memang cukup peka sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius. Sebab jika kita lihat beberapa peristiwa kerusuhan yang pernah terjadi, dari berbagai sumber dan penelitian membuktikan bahwa pertikaian itu berawal dari persoalan tajamnya perbedaan kultur.
Hal ini berkembang terus dan tajam, sehingga menimbulkan sikap primordial (sentimen kesukuan yang sempit) dan dapat memunculkan kelompok-kelompok tertentu yang dapat mempengaruhi hubungan sosial antar warga masyarakat dan akhirnya akan merusak integritas nasional. Dengan demikian anjuran berulang kali tentang asimilasi sosial, kultural serta pembauran antara suku bangsa di negeri ini menjadi sia-sia.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan, karena terdiri dari 17.508 pulau yang membentang dari Sabang sampai ke Merauke.1 Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga dihuni oleh berbagai suku bangsa, baik yang berasal dari kepulauan Indonesia itu sendiri, maupun suku dari luar kepulauan Indonesia. Suku bangsa tersebut di antaranya adalah: Jawa, Sunda, Batak, Melayu, Dayak, Madura, Bugis, Cina, Ambon, Aceh, dan lain-lain. Di antara suku bangsa tersebut, suku bangsa Melayu, Dayak, Cina dan Madura yang diangkat untuk dijadikan subyek penulisan ini.
Di Indonesia, persoalan yang masih dianggap rawan dan krusial adalah masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).2 Hal ini ditandai dengan banyaknya tindakan kekerasan, bentrokan fisik, serta berbagai tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain adalah:3
1. Peristiwa 1952, perkelahian antara suku Madura dengan Dayak
2. Peristiwa pengusiran orang Cina oleh orang Dayak tahun 1967
3. Peristiwa kerusuhan antara Madura dengan Dayak tahun 1979 di Samalantan
4. Peristiwa 1983 konflik Madura dengan Dayak
5. Peristiwa Sanggau Ledo 1997 yang mengakibatkan kerusuhan antar etnik Dayak dengan Madura
6. Peristiwa 1998 konflik Madura dengan Dayak di Samalantan
7. Peristiwa 1999 perang terbuka antara Madura dengan Melayu di Kabupaten Sambas
8. Peristiwa 25 Oktober 2000 kerusuhan antar etnik Melayu Pontianak dengan Madura.
Selain konflik antar etnik Madura dengan masyarakat pribumi, sebelumnya juga pernah terjadi di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Konflik ini terjadi antara suku Dayak (suku asli) dengan etnik Cina (suku pendatang). Akibat dari konflik tersebut tidak kurang dari 300 orang yang meninggal dunia, dan 55.000 orang etnik Cina yang diungsikan. Peristiwa ini bertepatan juga dengan usaha ABRI untuk menumpas Pasukan Gerilyawan Rakyat Serawak (PGRS) keturunan Malaysia.4
Setelah era kemerdekaan, konflik etnik yang sering terjadi di Kalimantan Barat adalah antar Madura dengan Dayak. Tercatat sudah 12 kali sejak tahun 1950 sampai dengan 1999 5.
Bukan hanya dengan suku Dayak, orang Madura di Kalimantan Barat pertama kali bertikai dengan suku Melayu. Kala itu para saudagar Bugis, melayu, dan Arab membawa orang Madura ke Kalimantan Barat sebagai buruh kontrakan dengan upah murah. Mereka membuka hutan untuk dijadikan kebun dan ladang. Terkadang mereka tidak di upah, hanya diberi makan.
Merasa diperlakukan seperti itu, pada tahun 1933 terjadi pemberontakan para pekerja orang Madura ini di sekitar kerajaan Sukadana (ketapang). Kala itu 25 pekerja laki-laki dan perempuan memberontak dan melarikan diri dari juragan perahu mereka. Pertikaian Melayu Madura kembali terulang pada tahun 1999 berasal dari desa Parit Setia Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas. Kasus inipun didahului pertikaian pribadi, yang kemudian menyeret kelompok dengan pelaku yang berbeda, terutama warga pendatang yang tidak tahu adat istiadat setempat mengakibatkan semangkin meluasnya kawasan terjadinya pertikaian antar etnis.
Karena selama ini yang dianggap sebagai pemicu setiap kerusuhan antar etnis yang terjadi di wilayah Kalimantan Barat adalah suku Madura, maka menimbulkan perasaan anti pati bagi masyarakat dari suku non-Madura di Kalimantan Barat terhadap suku Madura.
Dari beberapa peristiwa yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa persoalan etnik di negeri kita ini masih cukup rawan, sebab bila terjadi sedikit gejolak di dalam masyarakat, akan patal akibatnya. Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus niscaya akan dapat mempengaruhi keutuhan sosial dan ketahanan nasional.


Parit Setia Berdarah
Satu Syawal merupakan hari kemenangan bagi seluruh umat Islam, di mana setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa, berperang melawan hawa nafsu. Manusia telah kembali menemukan fitrahnya, suci bersih tanpa noda dan dosa. Kemenangan dalam mempertahankan spiritual keagamaan seperti Idul fitri itu kiranya patut dihormati dan dirayakan.
Namun sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di hari yang fitri, suci dan bersih itu. Hari fitri di mana kita (umat Islam) saling berkunjung satu dengan yang lain, bermaaf-maafan, menjalin tali silaturrahmi dan bersuka cita telah dinodai oleh suatu tragedi yang sangat memilukan dan sekaligus memalukan. Sesama muslim seharusnya bersaudara, akan tetapi berbalik menjadi saling bermusuhan, saling benci dan dendam, yang berujung pada tumpahnya darah anak manusia.
Tragedi Parit Setia Berdarah terjadi pada tanggal 1 Syawal 1419 H yang bertepatan dengan hari Selasa 19 Januari 1999 M di Kampung Parit Setia Kecamatan Jawai Kabupaten Sambas. Peristiwanya terjadi tidak lama setelah pelaksanaan sholat Idul Fitri, tepatnya pukul 15.00 wib. Sebagaimana kebiasaan masyarakat Islam pada umumnya, tanpa terkecuali masyarakat Melayu, sehabis melaksanakan ibadah sholat Id saling bersalaman, berkumpul bersama keluarga sebelum pulang menuju rumah masing-masing baru kemudian saling berkunjung ke rumah tetangga dan keluarga lainnya.
Sangat disesalkan dan disayangkan, kehangatan, keteduhan dan kegembiraan hari suci yang baru saja dinikmati oleh masyarakat Parit Setia khususnya, dan masyarakat Islam pada umumnya, berubah menjadi ketakutan dan kedukaan yang mendalam dengan datangnya sekelompok warga suku Madura dari kampung Rambayan yang menggunakan kendaraan tiga buah pick up dan diiringi oleh puluhan buah sepeda motor. (Perlu diketahui bahwa kampung Rambaian dan Serang dihuni oleh sebagian besar warga Madura, sehingga kepala kampungnya sendiri adalah warga suku Madura).
Sepanjang jalan mereka meneriakkan kalimat … Allahu Akbar, … Allahu Akbar, …. (seperti layaknya perang melawan musuh Islam pada jaman sahabat Nabi). Masyarakat di sekitar jalan yang mereka lewati menjadi terperangah, heran, kaget dan penuh tanda tanya. Jumlah mereka diperkirakan kurang lebih seratus orang. Di tangan mereka memegang bermacam-macam jenis senjata tajam, antara lain parang, clurit, tombak, pedang dan senjata tajam lainnya yang sangat mengerikan. Warga setempat --yang pada awalnya memang tersebar isyu akan ada penyerangan dan menganggap mustahil-- menjadi terkejut dan panik. Masing-masing berusaha lari menyelamatkan diri karena merasa percuma saja dilawan tanpa ada persiapan dan kemampuan. Suasana menjadi mencekam penuh ketakutan, Ibu-ibu histeris, mencari di mana anak-anaknya (termasuk Penulis), rumah-rumah, toko dan kios ditutup. Sementara yang laki-laki mempersiapkan diri di dalam rumah, untuk menjaga anggota keluarga masing-masing dari kemungkinan penyerangan.
Dari beberapa sumber diketahui bahwa kedatangan warga Madura semula untuk menemui kepala Kampung Parit Setia guna menyelesaikan masalah perselisihan antara warga Parit Setia dengan warga Rambayan beberapa minggu sebelum hari penyerangan itu. Menurut H. Madian : “Hal itu mereka lakukan hanya sekedar taktik belaka. Seharusnya jika ingin berunding secara baik, tidak dengan membawa massa yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Inilah yang membuat warga setempat menjadi takut dan marah”.
Sebagian mereka ingin bertemu dengan kepala Kampung, sebagian lainnya mencari Bapak Ayyub, yang dianggap oleh warga Madura kampung Rambayan merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas penganiayaan warga Madura Rambayan.
Sementara sekelompok yang lain masih bergerombol di tengah pasar kampung Parit Setia. Pada saat itu, pasar kampung Parit Setia benar-benar mereka kuasai. Padahal di situ ada petugas kepolisian (jumlahnya belum diketahui secara pasti), tetapi tak berdaya, dihalau oleh ratusan warga Madura. Di tengah pasar Parit Setia mereka langsung menyerang Mahli yang sedang berada dekat jembatan. Terjadi adu mulut dengan Mahli. Ketegangan tak dapat dihindari, Mahli dikejar dan dikeroyok. Perlawanan pun terjadi, satu melawan puluhan orang bersenjata lengkap. Akhirnya karena tidak berimbang, Mahli tewas ditikam, dibacok dengan sangat mengganaskan. Mahli gugur dalam posisi tertelungkup menuju ke arah jalan masuk kampung Parit Setia. Melihat perkelahian tak seimbang itu warga Melayu semakin ketakutan dan marah. Sebagian warga Melayu ada yang ingin membantu tetapi kalah dan lari ke ladang dan ke rumah penduduk sekitar dan ke Kampung Pelimpaan dalam keadaan luka-luka. warga setempat segera merawat mereka yang terluka.
Wasli adalah korban kedua yang saat itu mencoba lari karena ketakutan dan berusaha meyelamatan diri. Akan tetapi karena terpojok dan terkampung akhirnya melakukan perlawanan dengan menggunakan sepotong kayu. Namun karena perkelahian tidak seimbang, Wasli terjatuh dan sempat lari ke Pasar Ikan dalam keadaan luka parah, perutnya terburai (terbuka), tangannya hampir putus. Wasli gugur sebagai syuhada (meminjam istilah yang digunakan oleh masyarakat Melayu) menyusul sahabatnya Mahli.
Sementara rumah Ayyub juga didatangi oleh beberapa warga Madura yang pada awalnya ingin menanyakan dan menyelesaikan kasus pemukulan atas warga Madura kampung Rambayan, tiba-tiba berubah menjadi gaduh setelah sekelompok warga Madura lainnya menyerang. Di sini terjadi perlawanan antara Bapak Ayyub dan anaknya melawan puluhan warga Madura yang dilengkapi dengan senjata tajam. Sementara Ayyub dan anaknya tidak memakai senjata karena tidak menyangka ada penyerangan. Anak Ayyub terluka di bagian kepala, dan sempat menyelamatakan diri, sementara Ayyub sang Ayah, lari keluar untuk menyelamatan diri, tetapi dikejar dan jatuh serta roboh di “rumah bakal” sebelah rumahnya. Pak Ayyub meninggal seketika dalam keadaan mengerikan dan mengganaskan setelah ditikam, dibacok dan ditembus oleh parang, clurit dan tombak tanpa ada rasa perikemanusiaan sedikit pun dari warga Madura. Pak Ayyub gugur sebagai syahid menyusul sahabatnya (Mahli dan Wasli) masih memakai baju batik dengan perut terbuka, tangan dan kaki hampir putus.
Di tengah perkelahian sedang berkecamuk, warga Parit Setia mencoba minta bantuan tambahan kekuatan dengan memanggil orang-orang yang dianggap jago dan memiliki ilmu kebal dari kampung tetangga antara lain dari kampung Pelimpaan. Di antara yang sempat datang adalah Pak Pani (Ngah Pani) yang hanya membawa sebatang kayu andalannya. Ngah Pani mengira orang-orang kuat (jago) kampung Parit Setia datang dan berkumpul melawan kekuatan warga Madura, akan tetapi apa yang terjadi sungguh di luar perkiraannya. Karena terlanjur datang dan berhadapan dengan warga Madura, Ngah Pani mencoba melawan, kemudian dikejar dan lari ke lapangan sepak bola yang penuh semak. Di sana terjadi pertempuran yang sungguh di luar dugaan. Satu melawan puluhan orang Madura. Kekebalan dan kekuatan Ngah Pani benar-benar teruji. Akan tetapi karena ia terjatuh dan merasa tidak mungkin melawan, akhirnya melarikan diri dan ditolong oleh beberapa warga Melayu. Ngah Pani terluka. Di pihak Madura juga ada yang terluka.
Melihat beberapa warga Melayu berjatuhan dan meninggal tiga orang, serta merasa sudah puas melampiaskan kemarahannya, warga Madura mundur dan kembali menuju kendaraan masing-masing, untuk selanjutnya pulang ke kampung asalnya. Tanpa ada rasa menyesal dan bersalah bahkan berteriak teriak sambil mengangkat senjata, mereka menaiki kendaraan beranjak menuju kampung Rambaian. Di sepanjang jalan pulang menuju kampungnya, warga Madura meneriakkan yel yel, Madura menang… Melayu kalah... Melayu kerupuk…Tiga kosong… dan sebagainya.
Penyerangan dan perkelahian terjadi sangat singkat. Hanya dalam tempo 15 menit Parit Setia menjadi berdarah. Suasana kampung di Parit Setia dan kampung-kampung sekitarnya di seluruh Kecamatan Jawai menjadi hening, lengang, mencekam dan dihantuai oleh rasa cemas takut berbaur dengan rasa marah dan benci yang mendalam. Kecamatan Jawai seakan berkabung, tidak ada aktivitas dan keramaian malam dua hari lebaran yang biasanya selalu ramai. Kampung Parit Setia dan kampung di sekitarnya seolah-olah menjadi mati. Peristiwa Parit Setia menjadi objek dan bahan omongan seluruh warga Melayu yang berkunjung untuk berlebaran. Sementara jenazah korban yang gugur pada hari suci, disemayamkan di teras masjid Parit Setia. Keesokan harinya tanggal 20 Januari 1999 tepat pukul 09.00 jenazah Ayyub, Mahli dan Wasli disembahyangkan dan dikuburkan oleh ratusan warga Parit Setia dan warga lainnya sekitar Parit Setia.


Sumber Pertikaian

Pertikaian dan permusuhan ini terjadi berawal dari peristiwa pembantaian dan penganiayaan beberapa orang warga Melayu kampung Parit Setia terhadap seorang warga Madura dari kampung Rambayan pada malam bulan ramadhan 1419 H. yang diduga menyelinap masuk ke rumah salah satu rumah warga Parit Setia dengan maksud mencuri, yakni di rumah Ayyub yang meninggal dalam peristiwa penyerangan. Namun sayang, malang nasib warga madura itu, perbuatannya diketahui oleh tuan rumah dan diteriaki maling, yang akhirnya didengar dan dikejar oleh warga yang lainnya. Usaha untuk menyelinap masuk ke rumah gagal, dan akhirnya satu orang tertangkap basah, sementara yang lainnya sempat melarikan diri. Setelah diikat lalu dipukuli hingga babak belur.
Penangkapan ini diketahui oleh temannya yang lari dan memberitahukannya kepada warga lainnya di kampung Rambaian. Setelah dipukuli, keesokan harinya masalahnya kemudian diserahkan kepada kekepolisian kecamatan. Dan diproses. Warga melayu ditahan atas tuduhan penganiayaan dan warga Madura dilepaskan karena menurut Polisi tidak ada bukti pencurian. Padahal menurut masyarakat Parit Setia dan sekitarnya, mereka sering kecurian dan bahkan perampokkan pada malam hari.
Setelah peristiwa itu, masyarakat Parit Setia merasa terancam dengan tersebarnya isyu akan ada penyerangan warga Madura kampung Rambaian. Warga kampung Parit Setia melalui aparat kampung yaitu kepala kampung sudah beberapa kali mengadakan kontak perdamaian, dengan harapan agar kasus pertikaian antara warga itu diselesaikan dengan baik, apalagi sesama muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Namun upaya itu tidak dihiraukan, bahkan dipertajam sendiri oleh kepala kampungnya sendiri. Indikator keterlibatan pimpinan kampung Rambaian adalah pada saat penyerangan kendaraan yang digunakan adalah kendaraan (truk) kepala kampung (H. Leman) di samping itu, beliau juga ikut dalam rombongan penyerangan itu. Maka terjadilah tragedi 1 syawal 1419 H. yang menewaskan tiga orang warga melayu kampung Parit Setia.


Ketika Melayu Bangkit
Situasi desa Parit Setia dan Kecamatan Jawai pada umumnya sunyi, sepi bagaikan kota mati. Tak ada bunyi petasan, meskipun saat itu masih lebaran. Orang melayu dihantui rasa takut, cemas dan benci terhadap warga Madura yang menyerang dan membunuh orang Melayu. Kondisi seperti berjalan kurang lebih satu bulan.
Hampir satu bulan setelah kejadian parit setia berdarah, masyarakat dari luar kecamatan Jawai datang silih berganti sekedar untuk takjiyah atau jiarah ke kuburan korban pembunuhan oleh warga madura. Mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat pemerintah baik daerah maupun pusat.
Perundingan antar warga madura dan melayu yang difasilitasi oleh pemerintah Kecamatan dan Kabupaten seanatiasa diupayakan. Namun perjanjian damai dirusak kembali oleh warga madura setelah pecah peristiwa di desa Pusaka Tebas. Kejadian itu seakan membangitkan keberanian warga melayu Jawai dan Sambas pada umumnya. Warga melayu Jawai yang selama pada mulanya diam dan takut, beralih menjadi garang, bengis dan bersemangat. Semangat berani dan bersatunya antar warga Melayu juga didorong oleh kunjungan raja Sambas ke setiap Kecamatan. Setelah kehadiran raja Sambas, warga Melayu Sambas solah-olah memperoleh kekuatan dan energi baru. Tanpa ada yang mengemando atau menjadi panglima perang, mereka bangkit bersama. Hanya satu yang mereka lawan ; adalah sikap dan tabiat warga Madura yang angkuh, sombong, dan jahat yang mengakibatkan gugurnya orang Melayu Jawai pada saat Idul Fitri. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga Sambas, hampir semua berkomentar sama, andai saja orang Madura tidak menyerang dan membunuh orang Melayu pada hari raya Idul Fitri, yang diyakini adalah hari memaafkan dan hari yang suci, maka mustahil peristiwa perang massal itu terjadi. Sebab, peristiwa penganiayaan atau pembunuhan terhadap orang Melayu yang dilakukan oleh warga Madura sudah sering terjadi. Akan tetapi dapat diselesaikan secara hukum dan kekeluargaan.
Sejak itulah warga melayu Sambas bersiap-siap untuk melakukan pembalasan kepada warga Madura. Dalam tempo satu bulan sebelum pecah perang terbuka, orang Melayu Sambas secara diam-diam menggalang kekuatan. Konsolidasi antar warga Melayu kian meningkat, termasuk dengan warga Dayak Subah dan daerah lainnya yang berdekatan dengan Sambas. Keterlibatan Dayak hanya sebatas memberikan dorongan moral dan magis (sakti; seperti kebal, berani dan tahan berjalan jauh).

04 Desember 2008

Sejarah Singkawang





Sejarah Berdirinya Pemerintahan Kota Singkawang

Buku Sejarah Berdirinya Pemerintahan Kota Singkawang ditulis oleh Munawar M. Saad dengan dasar pikir bahwa Sejarah Berdirinya Pemerintahan Kota Singkawang sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sangat perlu untuk diteliti dan ditulis secara lebih baik. Perjuangan mendirikan Pemerintahan Kota Singkawang telah menguras waktu, pikiran, dan energi banyak pihak. Namun, buku atau tulisan yang ada belum dapat mengungkapkan sejarah berdirinya Pemerintahan Kota Singkawang tersebut secara jelas, gamblang dan komprehensif.

Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian pustaka dan dokumen, serta wawancara dengan pelaku sejarah pendirian Pemerintahan Kota Singkawang, kemudian menuangkan hasilnya ke dalam buku ini dengan secermat mungkin.

Buku ini merupakan bahan literatur historis yang akan dapat memperkaya khazanah keilmuan bagi masyarakat dan pemerintah daerah, khususnya di Kota Singkawang; dan rujukan bagi pemerintah daerah Kota Singkawang masa kini dan yang akan datang dalam proses pengambilan keputusan.

Dapatkan bukunya dan Selamat Membaca!

Geliat Pembangunan Kota Singkawang




Geliat Pembangunan Kota Singkawang merupakan sebuah buku karya Munwar M. Saad. Buku tersebut memaparkan tentang konsisi Pembangunan Kota Singkawang dalam rentang waktu 2001-2007. Pembangunan Kota Singkawang pada masa pemerintahan Walikota Drs. H. Awang Ishak, M.Si dan Wakil Walikota Drs. Raymundus Sailan, M.Si sungguh terasa geliatnya. Walaupun masih terdapat kekurangan, tetapi walikota dan wakil mampu untuk menciptakan program-program terobosan cemerlang dalam memajukan Kota Singkawang. Sebagai contoh, Kota Singkawang dibangun dengan prinsip makan bubur panas. Membangun mulai dari daerah pinggiran menuju pusat kota.

Pembangunan Kota Singkawang dapat kita lihat dalam dua aspek, yaitu fisik dan mental. Dari aspek fisik Kota Singkawang saat ini telah memiliki infrastruktur jalan, drainase, pendidikan, kesehatan dan bangunan lainnya yang cukup memadai. Sedangkan dari aspek mental, pengembangan kualitas SDM yang berbasis Iptek-Imtaq yang berdaya saing dan unggul terus dilaksanakan. Geliat pembangunan Kota Singkawang dapat pula kita lihat dari berbagai penghargaan yang diraih oleh Pemerintah Kota Singkawang atas keberhasilan pelaksanaan program pembangunan, baik di tingkat regional maupun nasional. Itu adalah bukti bahwa Kota Singkawang semakin hari semakin maju.

Jika selama ini kita sangat akrab dengan istilah Kota Singkawang dalam Angka, yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Maka, kami menghadirkan buku ini ke hadapan pembaca dalam versi Kota Singkawang dalam Angka dan Gambar. Sehingga kita dapat memahami pembangunan Kota Singkawang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Bagaimana geliat pembangunan Kota Singkawang? Atau ada keraguan tentang pembangunan Kota Singkawang? Temukan jawabannya dalam buku ini. Selamat Membaca!